"Siapa yang memanggilku?" Keheningan dalam kegelapan pecah akibat satu suara seduktif.
Sebuah ruang penyimpanan bawah tanah setinggi tujuh kaki, dengan pintu kayu sebagai satu-satunya jalan masuk, tanpa jendela, dan tanpa furnitur berlebihan yang mengganggu. Deretan bebatuan Rune rumit terukir di lantai berbahan obsidian, berhiaskan patung iblis di tengah yang terbuat oleh bahan yang sama.
Darah Veres memasuki bebatuan. Sebuah cahaya merah tua memancar melewati ukiran layaknya ular lapar yang mencari mangsa. Inilah pengorbanan sihir yang paling berbahaya: menggunakan batu Rune mengandung sihir kegelapan sebagai perantara, sang pemanggil mengaktifkannya dengan kekuatan darah, memanggil bayangan sesosok "tamu" dari alam lain.
Jika semangat hidup sang pemanggil tak cukup kuat, mereka akan kehabisan darah dan berakhir sebagai jasad kering. Jika tekad sang pemanggil tak cukup kuat, dia akan dirusak bayangan yang datang dan terperosok dalam Abyss.
Ini merupakan ujian untuk jiwa dan raga.
Tamu dari Abyss telah tiba. Suara yang menawan bergema, namun Veres tetap fokus. Dia menarik pergelangan tangannya yang berdarah dan membalutnya sebaik mungkin dengan tangan dan mulutnya. Ritualnya baru setengah jalan. Dia harus mempersiapkan mentalnya untuk menghadapi negosiasi yang menanti.
"Mengapa kau diam, nak? Bukankah kau yang memanggilku ke sini?" Suaranya terdengar lembut, seduktif, dan merasuki hatinya.
"Tak kusangka kau yang datang ke sini, nenek tua." Veres menyahut dengan dingin setelah meludahkan perban di mulutnya.
"Hmmm. Lidahmu masih setajam dulu." Veera the Seductress, Dalang Kerusakan, penasihat legiun Abyss, yang dikenal atas tipu dayanya. Walaupun ribuan tahun telah berlalu, ada hal yang lebih penting dari hal lain. Veera tak sepenuhnya mampu mengabaikan kata-kata Veres.
"Aku tak punya banyak waktu. Langsung saja." Veres mengambil perkamen dari dalam jubahnya dan melemparnya ke patung, yang sekarang memancarkan cahaya merah tua. "Inilah yang kuinginkan, dan imbalan dariku untuknya."
Perkamen itu terbuka mengambang seolah disentuh sepasang tangan tak kasat mata.
"Perjanjian yang adil. Kau menawarkan sesuatu yang kuinginkan, dan sebagai imbalannya, kau menginginkan sesuatu yang aku bisa - yang hanya bisa diberikan olehku." Rasa puas terasa dari nada bicara Veera. "Namun aku penasaran…siapa yang mengajarkanmu ritual ini? Dan sepertinya aku mengenal aroma familiar dari perkamen ini..."
"Kurasa kau sudah cukup tua untuk mengabaikan hal-hal kecil. Cukup tua." Veres mencibir tak sabar. "Jika tak ada masalah, apakah kita sepakat?"
"Jika kita bertemu lagi, nak, kusarankan agar kau jaga lidahmu - atau bersiaplah untuk hidup tanpanya." Tanpa menunggu balasan Veres, bayangan Veera lenyap.
Kontrak sudah berlaku.
Sekarang seorang diri, Veres menghela nafas panjang. Dia sudah mengambil langkah yang berbahaya - salah sangkah, dan habis sudah riwayatnya. Lelaki di balik layar, yang menamai dirinya "Jenderal Agung", menjamin semuanya masih dalam kendali, namun Veres tak pernah mempercayainya. "Kakek sialan, selalu bersembunyi...dia ingin aku mempercayainya, walaupun tak pernah menampakkan wajahnya!"
Sebagai panutan pembunuh generasi baru didikan Reapers, hanya satu orang yang dipercaya Veres di dunia ini: Quillen, yang dianggapnya sebagai guru dan ayah. Berkat kesuksesannya, Reapers berhasil bangkit kembali, dan Quillen merebut jabatan lamanya di Shadow Hand. Dia mengutus Veres untuk membantu para penyihir demi berharap balas budi dari faksi mereka, seraya menjadi ajang unjuk kekuatan.
Pemberontakan Amily tiga tahun yang lalu memberi pukulan yang besar baik pada reputasi Reapers maupun Quillen. Dia harus merelakan kekuasaannya seraya mengisi waktu dengan melatih bibit muda. Rasa sakit Quillen diwariskan pada anak didik barunya, yang mengarahkan semua amarah dan kebenciannya pada Amily.
"Kau begitu mirip dirinya…" Veres sering mendengar hal ini dari gurunya. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya, Quillen masih tak bisa melupakan kekagumannya atas kemampuan Amily.
Terlalu belia untuk memahami maksud di balik perkataan Quillen, Veres menganggapnya sebagai tamparan, dimana dirinya dibanding-bandingkan dengan sosok pengkhianat oleh satu-satunya orang yang dihormati dan disayanginya. Dan jauh di lubuk hatinya, dia tak mampu mengenyahkan perasaan bahwa Quillen menganggap dirinya tak sekuat Amily.
Inilah alasan Veres melakukan ritual ini, tak peduli akan resikonya. Dia tak hanya melakukan ini demi kejayaan Quillen; dia pun ingin menjadi sosok yang unik. Menurut sang "jenderal", seraya terbentuknya jalinan antara dua dunia serta sang pengaju kontrak dengan kontraknya, kekuatan Abyss akan selamanya memasuki darahnya, memberinya kekuatan dan penampilan baru.
"Hanya ingin memastikan bahwa aku tak akan berubah jadi salah satu monster seperti mereka." suara Veres terdengar meyakinkan. Kata-kata sang "jenderal" tak membuatnya lengah, namun setelah diyakinkan Quillen, hanya ada satu hal dalam benaknya - mendapatkan kesepakatan, tak peduli berapa harganya. Dan dengan kekuatan barunya ini, dia dapat menuntaskan urusan dengan buronan yang dibencinya itu.
"Dunia akan tahu - bahwa aku lebih baik dari dirimu."
Sebuah ruang penyimpanan bawah tanah setinggi tujuh kaki, dengan pintu kayu sebagai satu-satunya jalan masuk, tanpa jendela, dan tanpa furnitur berlebihan yang mengganggu. Deretan bebatuan Rune rumit terukir di lantai berbahan obsidian, berhiaskan patung iblis di tengah yang terbuat oleh bahan yang sama.
Darah Veres memasuki bebatuan. Sebuah cahaya merah tua memancar melewati ukiran layaknya ular lapar yang mencari mangsa. Inilah pengorbanan sihir yang paling berbahaya: menggunakan batu Rune mengandung sihir kegelapan sebagai perantara, sang pemanggil mengaktifkannya dengan kekuatan darah, memanggil bayangan sesosok "tamu" dari alam lain.
Jika semangat hidup sang pemanggil tak cukup kuat, mereka akan kehabisan darah dan berakhir sebagai jasad kering. Jika tekad sang pemanggil tak cukup kuat, dia akan dirusak bayangan yang datang dan terperosok dalam Abyss.
Ini merupakan ujian untuk jiwa dan raga.
Tamu dari Abyss telah tiba. Suara yang menawan bergema, namun Veres tetap fokus. Dia menarik pergelangan tangannya yang berdarah dan membalutnya sebaik mungkin dengan tangan dan mulutnya. Ritualnya baru setengah jalan. Dia harus mempersiapkan mentalnya untuk menghadapi negosiasi yang menanti.
"Mengapa kau diam, nak? Bukankah kau yang memanggilku ke sini?" Suaranya terdengar lembut, seduktif, dan merasuki hatinya.
"Tak kusangka kau yang datang ke sini, nenek tua." Veres menyahut dengan dingin setelah meludahkan perban di mulutnya.
"Hmmm. Lidahmu masih setajam dulu." Veera the Seductress, Dalang Kerusakan, penasihat legiun Abyss, yang dikenal atas tipu dayanya. Walaupun ribuan tahun telah berlalu, ada hal yang lebih penting dari hal lain. Veera tak sepenuhnya mampu mengabaikan kata-kata Veres.
"Aku tak punya banyak waktu. Langsung saja." Veres mengambil perkamen dari dalam jubahnya dan melemparnya ke patung, yang sekarang memancarkan cahaya merah tua. "Inilah yang kuinginkan, dan imbalan dariku untuknya."
Perkamen itu terbuka mengambang seolah disentuh sepasang tangan tak kasat mata.
"Perjanjian yang adil. Kau menawarkan sesuatu yang kuinginkan, dan sebagai imbalannya, kau menginginkan sesuatu yang aku bisa - yang hanya bisa diberikan olehku." Rasa puas terasa dari nada bicara Veera. "Namun aku penasaran…siapa yang mengajarkanmu ritual ini? Dan sepertinya aku mengenal aroma familiar dari perkamen ini..."
"Kurasa kau sudah cukup tua untuk mengabaikan hal-hal kecil. Cukup tua." Veres mencibir tak sabar. "Jika tak ada masalah, apakah kita sepakat?"
"Jika kita bertemu lagi, nak, kusarankan agar kau jaga lidahmu - atau bersiaplah untuk hidup tanpanya." Tanpa menunggu balasan Veres, bayangan Veera lenyap.
Kontrak sudah berlaku.
Sekarang seorang diri, Veres menghela nafas panjang. Dia sudah mengambil langkah yang berbahaya - salah sangkah, dan habis sudah riwayatnya. Lelaki di balik layar, yang menamai dirinya "Jenderal Agung", menjamin semuanya masih dalam kendali, namun Veres tak pernah mempercayainya. "Kakek sialan, selalu bersembunyi...dia ingin aku mempercayainya, walaupun tak pernah menampakkan wajahnya!"
Sebagai panutan pembunuh generasi baru didikan Reapers, hanya satu orang yang dipercaya Veres di dunia ini: Quillen, yang dianggapnya sebagai guru dan ayah. Berkat kesuksesannya, Reapers berhasil bangkit kembali, dan Quillen merebut jabatan lamanya di Shadow Hand. Dia mengutus Veres untuk membantu para penyihir demi berharap balas budi dari faksi mereka, seraya menjadi ajang unjuk kekuatan.
Pemberontakan Amily tiga tahun yang lalu memberi pukulan yang besar baik pada reputasi Reapers maupun Quillen. Dia harus merelakan kekuasaannya seraya mengisi waktu dengan melatih bibit muda. Rasa sakit Quillen diwariskan pada anak didik barunya, yang mengarahkan semua amarah dan kebenciannya pada Amily.
"Kau begitu mirip dirinya…" Veres sering mendengar hal ini dari gurunya. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya, Quillen masih tak bisa melupakan kekagumannya atas kemampuan Amily.
Terlalu belia untuk memahami maksud di balik perkataan Quillen, Veres menganggapnya sebagai tamparan, dimana dirinya dibanding-bandingkan dengan sosok pengkhianat oleh satu-satunya orang yang dihormati dan disayanginya. Dan jauh di lubuk hatinya, dia tak mampu mengenyahkan perasaan bahwa Quillen menganggap dirinya tak sekuat Amily.
Inilah alasan Veres melakukan ritual ini, tak peduli akan resikonya. Dia tak hanya melakukan ini demi kejayaan Quillen; dia pun ingin menjadi sosok yang unik. Menurut sang "jenderal", seraya terbentuknya jalinan antara dua dunia serta sang pengaju kontrak dengan kontraknya, kekuatan Abyss akan selamanya memasuki darahnya, memberinya kekuatan dan penampilan baru.
"Hanya ingin memastikan bahwa aku tak akan berubah jadi salah satu monster seperti mereka." suara Veres terdengar meyakinkan. Kata-kata sang "jenderal" tak membuatnya lengah, namun setelah diyakinkan Quillen, hanya ada satu hal dalam benaknya - mendapatkan kesepakatan, tak peduli berapa harganya. Dan dengan kekuatan barunya ini, dia dapat menuntaskan urusan dengan buronan yang dibencinya itu.
"Dunia akan tahu - bahwa aku lebih baik dari dirimu."
0 komentar:
Posting Komentar